Sokola Rimba: Sekolah yang Hadir di Tengah Komunitas Adat

By Admin, 12 April 2025

Sunset in the mountains

Di Indonesia, masih banyak masyarakat adat yang belum mendapatkan akses pendidikan yang layak. Salah satunya adalah Orang Rimba di Jambi, komunitas yang hidup berpindah-pindah di dalam hutan. Di sinilah Sokola Rimba hadir, sebagai inisiatif pendidikan yang dimulai oleh Butet Manurung pada tahun 2003.

Berbeda dari sekolah pada umumnya, Sokola Rimba mengutamakan pendekatan berbasis budaya. Program ini dirancang agar selaras dengan cara hidup masyarakat adat, tanpa mengubah identitas mereka. Kini, program ini telah berkembang menjadi Sokola Institute, dan sudah berjalan di lebih dari 17 lokasi di Indonesia. Total, lebih dari 15.000 orang dari komunitas adat telah merasakan manfaatnya.

Perjalanan Butet Manurung: Dari Mahasiswa Antropologi ke Rimba Jambi

Butet bukan berasal dari dunia pendidikan formal. Ia adalah lulusan Antropologi dan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran. Awalnya, ia justru tertarik pada matematika dan masuk jurusan fisika saat SMA. Tapi setelah masuk kuliah, jalan hidupnya berubah.

Butet aktif di kegiatan pencinta alam (Palawa Unpad), sering ikut ekspedisi dan tinggal di alam bebas. Pengalaman inilah yang jadi bekal saat ia mulai bekerja di Jambi bersama komunitas Orang Rimba. Ia melamar pekerjaan sebagai fasilitator pendidikan di sebuah LSM konservasi, dan sejak itu memulai perjalanannya tinggal di dalam hutan.

Pendekatan Pendidikan yang Disesuaikan dengan Budaya Setempat

Sunset in the mountains

(sumber : rmoljateng.id)

Salah satu tantangan terbesar yang Butet hadapi adalah membangun kepercayaan. Ia butuh waktu tujuh bulan untuk bisa diterima oleh Orang Rimba. Selama itu, ia belajar bahasa mereka, mengikuti pola hidup mereka, bahkan makan apa yang mereka makan.

Butet sadar bahwa pendidikan tak bisa dipaksakan dari luar. Maka, ia mengembangkan metode belajar baca-tulis yang disebut Silabel. Dengan metode ini, anak-anak bisa belajar membaca hanya dalam waktu dua minggu. Metode ini kini digunakan di berbagai wilayah, disesuaikan dengan bahasa lokal masing-masing.

Sokola Institute: Lebih dari Sekadar Mengajar

Sunset in the mountains

(sumber : greennetwork.id)

Butet Manurung mendirikan Sokola Institute pada tahun 2003 sebagai organisasi nonprofit pertama di Indonesia yang menyediakan pendidikan untuk masyarakat adat. Berangkat dari keprihatinan terhadap kerugian yang dialami masyarakat karena buta huruf, ia mengembangkan pendekatan pendidikan kontekstual yang berangkat dari kebutuhan dan budaya masyarakat lokal.

"Tujuan utama pendidikan ini bukan membuat mereka menjadi modern atau mengejar gelar formal," ujar Butet dalam wawancaranya bersama The ASEAN Magazine. "Tapi bagaimana masyarakat adat bisa memiliki kendali atas hidup mereka, menjaga tanah dan budaya yang mereka cintai, serta membuat keputusan yang sadar dan mandiri."

Melalui kurikulum yang dibentuk bersama masyarakat, Sokola membekali mereka dengan keterampilan dasar membaca, menulis, berhitung, hingga advokasi hak atas tanah dan lingkungan. Literasi bukan semata alat, melainkan jembatan menuju kedaulatan.

Sokola Institute bukan sekadar mengirim guru ke daerah. Di sini, para relawan harus siap tinggal dan berbaur dengan masyarakat adat minimal dua tahun. Mereka tidak hanya mengajar, tapi juga belajar tentang budaya, kebiasaan, dan cara hidup komunitas setempat. Butet menekankan bahwa tidak ada budaya yang lebih tinggi dari yang lain. Pendekatan yang digunakan pun sangat antropologis, dengan fokus pada empati dan keterlibatan langsung.

Penghargaan dari UNESCO untuk Sokola Institute

Sunset in the mountains

(sumber : instagram @sokolainstitute)

Melalui program quot;Pendidikan Literasi untuk Masyarakat Adat Indonesiaquot;, Sokola Institute yang didirikan Butet meraih penghargaan bergengsi UNESCO Confucius Prize for Literacy 2024. Kemenangan ini diumumkan pada peringatan International Literacy Day yang berlangsung di Yaoundé, Republik Kamerun, pada 9 September 2024.

Program literasi Sokola dinilai luar biasa karena berhasil menggabungkan bahasa ibu komunitas adat, pendekatan etnografis, dan pengajaran bahasa nasional. UNESCO menilai metode ini sebagai pendekatan yang unik dan integratif, menghargai identitas budaya sembari membuka akses terhadap literasi. Sejak pertama kali dijalankan, program ini telah menjangkau lebih dari 1.000 peserta, dengan 200 partisipan aktif, termasuk 40 persen perempuan dan anak-anak. Kemenangan ini mengukuhkan Sokola Institute sebagai pionir pendidikan multibahasa yang efektif dalam meningkatkan kesadaran literasi sekaligus memperkuat kohesi sosial dan pemahaman lintas budaya.

Sosok Perempuan Inspiratif dengan Segudang Penghargaan

  • Ramon Magsaysay Award (2014)

  • Time Magazine’s Hero of Asia (2004)

  • EY Indonesia Social Entrepreneur of the Year (2012)

  • Dan terbaru, Barbie Role Model (2022) sebagai perempuan inspiratif di bidang pendidikan

Kisahnya bahkan diangkat ke layar lebar dalam film Sokola Rimba (2013) garapan sutradara Riri Riza, yang memperlihatkan dedikasi Butet hidup bersama masyarakat adat demi menyampaikan pendidikan secara langsung.

Dedikasi yang Tak Pernah Padam

Apa yang dilakukan Butet dan Sokola Institute mengajarkan kita satu hal penting: pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang berpihak. Berpihak pada masyarakat, pada budaya, pada masa depan yang lebih adil dan lestari. Penghargaan UNESCO ini bukanlah akhir, melainkan penanda bahwa model pendidikan yang menghargai kearifan lokal bisa menjadi teladan global.

Sokola Rimba dan Sokola Institute menunjukkan bahwa pendidikan bisa hadir di mana saja, asal dilakukan dengan cara yang tepat. Bukan dengan membawa kurikulum yang serba formal, tapi dengan menyesuaikan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Di saat banyak orang masih berpikir bahwa belajar hanya bisa dilakukan di ruang kelas, Butet dan timnya membuktikan sebaliknya. Pendidikan bisa dilakukan di tengah hutan, di rumah adat, atau di mana pun selama ada niat untuk belajar dan saling percaya.