By Admin, 30 April 2025
Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh atau yang dikenal sebagai May Day. Peringatan ini lahir dari rentetan panjang perjuangan kelas pekerja untuk memperoleh hak-hak ekonomi, sosial, dan politik yang lebih adil. Berawal dari abad ke-19, saat revolusi industri melahirkan sistem kerja eksploitatif dengan jam kerja tak manusiawi dan upah minim, para buruh mulai menyuarakan hak-haknya.
Pemogokan pekerja pertama kali tercatat pada tahun 1806 oleh buruh Cordwainers di Amerika Serikat, menandai awal perlawanan terhadap kondisi kerja yang tidak manusiawi. Pada tahun 1882, Peter McGuire dan Matthew Maguire berhasil mengorganisasi parade Hari Buruh pertama di New York, mengusung slogan legendaris: &"8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi". Slogan ini kemudian menjadi simbol perjuangan buruh di seluruh dunia.
Pentingnya tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional ditetapkan dalam Kongres Buruh Internasional tahun 1886. Di Indonesia, peringatan Hari Buruh mulai dilakukan sejak tahun 1920, meski sempat dilarang pada masa Orde Baru. Baru pada era Reformasi, May Day kembali dirayakan dan ditetapkan sebagai hari libur nasional untuk menghormati kontribusi pekerja terhadap pembangunan bangsa.
Hak Buruh Perempuan: Perjuangan yang Belum Usai
(sumber : mediaindonesia.com)
Dalam konteks Indonesia masa kini, memperingati Hari Buruh juga berarti menyoroti kondisi buruh perempuan yang kerap menghadapi tantangan berlapis di dunia kerja. Seperti disampaikan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani, semua pekerja termasuk perempuan di sektor informal, penyandang disabilitas, dan kelompok minoritas identitas berhak atas lingkungan kerja yang aman dan adil.
Namun, realita menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak-hak buruh perempuan masih banyak terjadi. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023, terdapat setidaknya 500 kasus kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja. Bentuk pelanggaran tersebut mencakup:
Pelanggaran hak maternitas: cuti haid yang dipersulit, cuti melahirkan yang mengancam status pekerjaan, hingga pelecehan saat pemeriksaan kesehatan kerja.
Diskriminasi berbasis gender: perbedaan gaji dan peluang kenaikan jabatan antara laki-laki dan perempuan.
Kekerasan ekonomi: lembur yang tidak dibayar, pemotongan upah sepihak, serta tekanan kerja berlebih.
Hambatan dalam berorganisasi: perempuan seringkali dihalangi untuk aktif dalam serikat pekerja atau forum dialog sosial.
Film biografi dan prangko khusus
Dalam konteks Indonesia masa kini, memperingati Hari Buruh juga berarti menyoroti Untuk menjawab tantangan ini, Komnas Perempuan mendorong pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Selain itu, implementasi Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023 perlu diawasi secara ketat untuk memastikan perlindungan nyata bagi pekerja perempuan.
Perempuan sebagai Agen Perubahan
Di balik tantangan tersebut, banyak perempuan telah membuktikan diri sebagai agen perubahan di dunia kerja. Mereka memimpin serikat pekerja, membangun usaha sendiri, dan berani mengambil peran kepemimpinan di berbagai sektor.
Perempuan juga menjadi pionir dalam memperjuangkan kebijakan ramah keluarga, menciptakan ruang aman di tempat kerja, dan mengangkat isu-isu seperti work-life balance serta kesehatan mental. Di berbagai perusahaan, program kesetaraan gender mulai diadopsi melalui inisiatif kepemimpinan perempuan, pelatihan anti-diskriminasi, dan pemberdayaan pekerja perempuan melalui UMKM.
Semakin terbukanya akses perempuan terhadap pendidikan dan teknologi juga menjadi katalis penting dalam mendorong dunia kerja yang lebih inklusif dan inovatif.
Tanggung Jawab Bersama: Negara, Perusahaan, dan Masyarakat
Mewujudkan dunia kerja yang setara membutuhkan keterlibatan berbagai pihak. Negara perlu hadir melalui kebijakan afirmatif dan sistem pengawasan yang kuat. Perusahaan wajib mengintegrasikan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam budaya kerja mereka. Sementara masyarakat dapat berperan sebagai penggerak perubahan, mulai dari memilih produk dari pelaku usaha yang beretika hingga mendukung kampanye kesetaraan di dunia kerja.
Perlu juga dibangun ruang dialog sosial yang sehat antara pekerja, pengusaha, dan pembuat kebijakan, agar semua suara terutama suara perempuan didengar dan dihargai.
Pekerjaan Layak untuk Semua
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merumuskan empat pilar utama pekerjaan layak: hak pekerja, kesempatan kerja, perlindungan sosial, dan dialog sosial. Jika keempat pilar ini dapat diwujudkan, maka akan tercipta dunia kerja yang tidak hanya adil, tetapi juga manusiawi bagi semua.
Hari Buruh sejatinya bukan sekadar peringatan historis. Ia adalah momen refleksi sekaligus seruan untuk terus memperjuangkan masa depan dunia kerja yang lebih baik, lebih setara, lebih aman, dan lebih memberdayakan, terutama bagi kelompok rentan dan perempuan.
Kesetaraan di tempat kerja bukan hanya isu perempuan, ini adalah isu semua orang. Karena ketika perempuan diberi ruang untuk tumbuh, berpendapat, dan berkontribusi tanpa rasa takut, maka dunia kerja akan menjadi tempat yang lebih adil, produktif, dan manusiawi bagi semua. Mari kita jadikan Hari Buruh sebagai ajakan bersama untuk mewujudkan dunia kerja yang berpihak pada keadilan.